Sunday, March 1, 2015

UGK punya Cerita



Hanya ada 12 kursi kayu dan enam kursi lipat di ruangan berukuran 5 x 5 meter ini. Jam menunjuk pukul 13.30 atau sudah saatnya kuliah dimulai, namun baru tiga kursi terisi, yakni oleh Wahyu (22), Tati (40), dan Arif (21). Mereka asyik berbincang, sambil sesekali tertawa.
"Nggak apa-apa kok dosennya yang telat. Paling sebentar lagi masuk. Gantian telat, karena biasanya malah saya dan teman-teman yang telat masuk. Para dosen, sih, biasanya malah masuk dan tepat waktu," ujar Wahyu, sambil membagi permen untuk dua temannya.
Tak lama, satu orang lagi masuk ke ruangan yang lebih mirip seperti ruang kelas ketimbang ruang kuliah ini. Sang dosen yang dinanti akhirnya muncul. Meski molor 30 menit dari jadwal, mata kuliah Genetika akhirnya dimulai. Tak ada nada protes dari mahasiswa-mahasiswa itu.

Bangga
Iklim perkuliahan di Universitas Gunung Kidul (UGK) ini memang berbeda dari kampus lain. Kampus yang berdiri sejak tahun 2001 itu, tak bisa dimungkiri, belum setenar kampus swasta lain di DI Yogyakarta. Mahasiswa yang didapat UGK pun bisa dibilang agak apa adanya.
Lulusan SMA/SMK di Gunung Kidul yang masih berkiblat ke Yogyakarta untuk meneruskan kuliah, tak banyak melirik UGK. Namun, UGK menjadi pilihan bagi warga Gunung Kidul yang sudah bekerja dan tak punya waktu banyak, namun berhasrat menempuh pendidikan sarjana.
Wahyu, yang adalah lulusan SMA, sehari-hari membuka konter pulsa di Nglipar. Sementara itu, Tati bekerja sebagai tenaga honorer penyuluh pertanian di Balai Penyuluh Pertanian Saptosari. Hanya Arif yang bisa dibilang mahasiswa murni. Arif, yang tinggal di Berbah, Sleman, ini masuk ke UGK karena diajak kakaknya.
Apa yang membuat Tati masuk UGK dan mengambil program studi (prodi) Agronomi?
"Yah mungkin, ijazah saya akan berguna suatu saat nanti. Siapa tahu, saya nanti mendapat kesempatan menjadi karyawan tetap dengan pertimbangan ijazah," ujar ibu tiga anak ini.
Menurutnya, kuliah di UGK sangat pas dari sisi penghematan waktu dan keuangan di kantong. "Saya pulang kerja pukul 12.00-14.00. Kalau kuliahnya di Yogya, saya harus naik motor. Bayangkan saja capeknya dan uang bensin yang keluar. Mendingan di UGK, lokasi dekat dari rumah, naik motor nggak sampai satu jam. Untuk biaya, di sini murah meriah, kok. Satu semester hanya habis Rp 1 jutaan," tutur Tati.
Wahyu juga menjawab senada. Dengan kuliah sore, maka pagi hingga siang dirinya bisa menjaga toko konter pulsanya. Tentang kuliahnya, Wahyu bercita-cita mendapat pekerjaan yang lebih bagus dengan ijazah di tangan. Ketika ditanya bagaimana kualitas perkuliahan di UGK, Wahyu menjawab sudah lumayan bagus. Jarang ada kuliah dan praktikum yang bolong. Itu cukup melegakannya.
"Kalau ditanya apa saya bangga kuliah di sini, jawabannya ya biasa saja. Saya nggak malu kok. Tapi memang, lebih bangga kan kalau kita lulusan kampus di Yogyakarta. Hanya saja, sekarang sarjana dapat ilmu tak hanya dari angka akademik saja, bukan? Lulusan kampus ternama juga bukan jaminan," ucap Wahyu.

Mahasiswa gigih bekerja
Tercatat, dari 250-an mahasiswa di 6 program studi di UGK saat ini, 60 persennya seperti Tati, yaitu bekerja sebagai karyawan. Sebanyak 40 persen lainnya adalah mahasiswa regular, yang umumnya lulusan SMA/SMK.
Rektor UGK Wahyu Purwanto mengakui, mau tak mau, perkuliahan di kampus yang salah satu pendirinya adalah almarhum mantan rektor UGM, Koesnadi Harjasoemantri, ini mesti menyesuaikan dengan kondisi mahasiswanya. Satu hal yang sulit ditolak adalah, jam kuliah ditaruh sore hari.
"Untuk bertanding secara akademik dengan kampus lain di Yogyakarta, UGK jelas kesulitan. Lha wong, kami masih bergelut dengan masalah administrasi. Yang bisa kami jual saat ini adalah UGK mengembleng mahasiswa agar ulet dan gigih bekerja," kata Wahyu Purwanto yang dilantik sebagai rektor akhir November lalu.
UGK memang masih tertatih-tatih merangkak, namun UGK bertekad terus maju. Bukan hal mustahil bukan?

No comments:

Post a Comment